Perhatikan referensi masing-masing kelemahan dalam sistem pembayaran online yang ada ketika ini, sebagai berikut:
ilustrasi |
1. Kartu Kredit
Pembayaran dengan memakai kartu kredit dalam sistem pembayaran online mempunyai salah satu kelemahan yakni kartu kredit sanggup dipakai oleh orang yang namanya tidak tercantum dalam kartu.Contoh apabila kita hendak membeli aplikasi dalam sebuah layanan berbayar, beberapa penyedia layanan di indonesia maupun di luar negri hanya meminta nomor kartu kredit, tanggal expire date, dan nomor card holder verification value (CVV) yakni 3 (tiga) digit angka terakhir pada bab belakang kartu.
Artinya, meskipun kita bukan sebagai pemilik kartu, apabila info minimal tersebut kita ketahui, maka kita sanggup melaksanakan transaksi pembelian aplikasi berbayar. Meskipun mekanime charge back dimungkinkan dalam penggunaan kartu kredit apabila terbukti pemilik tidak melaksanakan transaksi, namun dalam beberapa kasus, pemilik kartu kredit banyak yang tidak menyadari adanya pemakaian kartu kredit mereka atau mungkin meyadari namun enggan memproses secara aturan permasalahan tersebut.
2. Internet Banking (pelayanan jasa bank melalui internet)
Layanan internet banking atau transastional internet banking (internet banking yang bersifat transaksional) yang merupakan bab dari electonic Banking diatur melalui Peraturan Bank indonesia No. 9/15/PBI/2007 Tahun 2007 ihwal Penerapan Managemen Resiko Dalam penggunan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.Pembayaran dengan layanan internet banking dipercaya banyak orang sebagai salah satu cara melaksanakan pembayaran yang aman. Dari sisi sistemnya saya beropini bahwa sistem internet banking relatif aman, namun dalam beberapa modus, kelemahan bertransaksi melalui internet banking justru pada kawasan fisik di mana kita melaksanakan transaksi.
Melakukan transaksi internet banking dengan memakai layanan hot spot gratis/berbayar ataupun layanan internet di kawasan umum, memungkinkan pelaku kejahatan mengintersepsi transaksi penggunan internet banking.
Tekhik tersebut oleh para penggiat keamanan info dinamakan teknik intersepsi dengan cara menempatkan "man in the middle" (intersepsi Sistem Elektronik/Jaringan peranta pada ketika korban bertransaksi).
Mekanisme charge back, sepengetahuan saya, tida dikenal dalam internet banking dengan perkiraan bahwa semua transksi dilakukan secara sadar oleh nasabah kecuali sanggup di buktikan bahwa kesalah terjadi dari sisi bank sebagai penyelenggaran sistem elektronik layanan transaksinoal internet banking (Prinsip praduga bersalah atau presume liablity sesuai UU No. 11 Tahun 2008 ihwal Informasi dan Transaksi Elektronik/ "UU ITU").
3. Electronic Cash
Untuk metode pembayaran dengan digilital cash, kalau yang kalian maksud dengan digital cash yaitu electronik cash, maka berdasarkan pendapat saya, transaksi online dengan memakai digital cash, pada prinsipnya sama dengan transaksi biasa non-online.Digital cash intinya yaitu penempatan uang dalam sebuah electronik account berbentuk susunan bit atau aksara (string) dalam beberapa digit yang kemudian sanggup dipakai sebagaimana kita mempunyai sebuah "voucher".
Nominal "voucher" tersebut kemudian dipakai oleh pemilik untuk melaksanakan transaksi online.
Dari sisi cara menbayarnya, digital cash mungkin dianggap lebih kondusif alasannya risiko hanya pada sebatas nominal "kupon" yang kita punya.
Namun, sekali lagi saya mengingatkan bahwa digital cash hanya sebuah untuk membayar dengan cara mentransfer nilai uang berbentuk elektronik dari satu rekening ke rekening lainya.
Aman atau tidak cara ini, berdasarkan saya, terletak bukan dari sisi cara membayarnya, melaikan lebih menitikberatkan pada sisi keyakinan akan keberanan identitas akseptor digital cash tersebut.
Penyedia layanan digital cash tentu tidak akan begitu saja memperlihatkan charge back kalau ternyata kalian salah/keliru mengirimkan uang ke akseptor alasannya transaksi tersebut terang terjadi diluar otoritas penyedia.
Sampai ketika ini, saya belum menemukan pengaturan khusus ihwal digital cash di indonesia.
Dalam hal barang cacat dalam sebuah transaks online, maka perlakuan transaksi-transaksi tersebut tidak ada bedanya dengan transksaksi yang dilakukan secara nyata.
Prinsip tanggungjawab dalam UU No. 8 Tahun 1999 ihwal Perlindungan Konsumen berlaku juga dalam sebuah transaksi jual beli online.
Singkatnya yaitu semua hak dan kewajiban konsumen dan hak dan kewajiban pelaku perjuangan dalam sebuah transaksi online yaitu sama sebagaimana transaksi jual beli pada umumnya.
Untuk meminimalisir terjadi sengketa, idealnya sebuah transaksi elekronik dibuatkan sebuah "Perjanjian para pihak yang dibentuk melalui sistem elektronik".
Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik bersifat mengikat para pihak (Pasal 18 UU ITE). Sehingga dari sisi hukum, transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mempunyai kekuatan yang sama dengan transaksi pada umumnya (transaksi konvesional).
Berdasarkan pengalaman saya, permasalahan utama dalam transaksi online justru Ketika pelaku perjuangan melepaskan diri dari tanggjawab, sementara jati diri pelaku dalam transaksi cyber space tidak atau sulit diketahui.
Karena, setidaknya hingga ketika ini, belum ada satupun forum yang sanggup menjamin bahwa pelaku perjuangan di cyber space yaitu pelaku perjuangan dalam arti yang sebenarnya. Jika hal tersbut terjadi, tentu konsumen yang paling di rugikan. Langkah selanjutnya yaitu memproses Permasalahan tersebut berdaskan kententuan pidana.
Jadi, kesimpulanya yaitu kondusif tidaknya kita bertransaksi memakai sebuah sistem elektronik lebih banyak bergantung pada kesadaran diri kita sebagai pengguna. Jargon keaman infomasi bahwa "security is you" dan "think before you clik" sanggup menjadi pertimbangan kita untuk melaksanakan transaksi secara aman.
0 komentar:
Posting Komentar